Akhirnya Vio memilih jalan ini. Jalan yang ia pikir bisa menyelesaikan satu penderitaan tersebut, namun ternyata hanya membuat dirinya lebih menderita.
Seandainya waktu bisa berputar kembali, Vio lebih memilih untuk tidak pernah bertemu dengan Jio. Vio memilih untuk tidak pernah menaruh perasaan yang amat mendalam pada sosok Jio. Sosok yang merasakan pedihnya kenyataan hidup karena dirinya.
Namun mau bagaimana lagi? Takdir yang telah dibuat tidak akan pernah bisa dihapus, semuanya harus diselesaikan entah bagaimana caranya.
Dan inilah satu-satunya cara bagi Vio untuk melindungi Jio.
Vio berdiri bak patung di depan apartemen mewah. Menatap lurus ke sebuah pintu hitam di hadapannya. Sebuah kata yang tak pernah berhenti mengitari kepalanya membuat dirinya ragu akan keputusannya. Takut. Ia takut jika ia melakukan semua ini malah memperbesar masalah, tapi hanya ini yang ia bisa lakukan. Hanya ini yang bisa Vio lakukan untuk Jio.
Gadis itu perlahan memberanikan diri, menekan bel apartemen lalu menghela napas dengan pasrah. Tak butuh waktu yang lama, pintu terbuka, menampakkan seorang wanita berambut cokelat dengan atasan berbahan rajut dan rok panjang.
“Gue gak menyangka lo akan datang malam ini, Vio,” ujar wanita tersebut yang tak lain tak bukan adalah Wenda Hirana. Wenda tersenyum seraya mempersilakan Vio masuk. Vio hanya membalas dengan tatapan datar dan masuk ke dalam.
“Jadi ada urusan apa lo ke sini? Karena menfess sekolah itu?” Tanya Wenda. Vio yang awalnya membelakangi Wenda, kini berbalik.
“Can we stop?” Mendengar satu pertanyaan dari mulut Vio membuat Wenda tak habis pikir. Wanita itu tertawa sekaligus kaget.
“Jadi lo ke sini cuma mau bilang itu?”
“Kak, gue udah minta maaf. Gue — ” Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Wenda langsung memotong begitu saja, “Lo pikir hanya minta maaf, mengembalikan piala dan segala milik Aretha udah cukup?” Vio terdiam. Ia tahu semua yang telah ia lakukan untuk menebus kesalahannya belum cukup bahkan tidak akan pernah cukup.
“Lo belum merasakan sama sekali penderitaan Aretha, Vio. Jadi jangan lo bilang semua yang udah lo lakukan itu bisa menghapus rasa sakit gue!” Bentak Wenda yang membuat Vio menundukkan kepala sejenak.
“Menfess yang gue kirim ke base sekolah lo itu belum seberapa. Lo akan merasakan penderitaan yang jauh lebih berat dari ini, Vio. Dan lo gak bisa menghindar sama sekali.”
“…”
“Kenapa? Karena ini hukuman buat lo,” pungkas Wenda. Vio mengangkat kepalanya, menatap Wenda dan berkata, “Tapi dengan cara ini justru membuat diri lo terseret ke dalam penderitaan, Kak.” Wenda tersenyum miring mendengarnya. Hal itu membuat Vio bingung.
“Gue tahu. Lo pikir gue menjalankan rencana tanpa mikir konsekuensi yang akan gue dapat?” Vio terdiam.
“Tapi cuma ini yang bisa gue lakukan untuk menerima hukuman gue karena gagal jadi kakak buat Aretha. Gue gagal melindungi adik gue sendiri,” ucap Wenda dengan nada yang gemetar. Sepertinya wanita itu akan menangis bahkan kedua matanya telah berkaca-kaca. Vio yang mendengarnya pun bisa merasakan betapa sakitnya berada di posisi Wenda. Terlebih ia gagal dua kali untuk melindungi adiknya.
“Gue paham seberapa besar penderitaan yang lo alami, Kak. Lo boleh melampiaskan semuanya ke gue. Lo boleh bikin gue terluka. Lakukan semua yang pengen lo lakukan ke gue, tapi tolong … jangan bikin Kak Jio semakin menderita.” Seusai mengatakan itu, Vio meneteskan air matanya. Berjalan satu langkah lebih dekat ke Wenda.
“Secinta itu lo sama — ” Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, Wenda syok berat melihat gadis yang ada di hadapannya berlutut.
“Iya, gue sayang banget sama Kak Jio. Gue gak mau dia jauh lebih menderita karena masalah ini. Jadi tolong hapus menfess tentang Kak Jio. Jangan seret dia lagi ke masalah ini. Cukup lampiaskan semuanya ke gue.” Air mata Vio menetes tepat di atas kaki Wenda. Vio sangat memohon untuk menyudahkan masalah ini pada Jio. Tak apa jika Wenda masih ingin membalas semua perbuatan jahatnya selama setahun, sepuluh tahun atau bahkan selamanya, Vio tak masalah. Cukup tumpahkan semuanya pada Vio. Gadis itu akan menerimanya. Permintaannya hanya satu, jangan menyeret Jio ke dalam neraka ini dan biarkan Jio hidup bahagia.
“…”
“Tolong, Kak. Gue gak punya pilihan lain selain ini. Gue gak bisa melakukan apa pun karena gue sadar, gue monster. Gue jahat dan pantas menerima semua ini.” Tangisan Vio semakin menjadi. Tangisan itu mengingatkan Wenda pada sosok Aretha yang menangis memohon untuk tidak membalas perbuatan Vio. Hati Wenda terasa pedih mendengar tangisan Vio.
“Kenapa lo gak balik balas gue?” Tanya Wenda. Vio mendongak ke atas dengan perlahan, menyeka air matanya lalu berkata, “Karena rasa sayang lo ke Aretha sebagai kakak.” Jujur saja Wenda sedikit tersentuh mendengarnya.
“Bangun,” ucap Wenda dengan dingin. Vio masih diam di tempat dan memohon, “Enggak. Gue gak akan bangun sampai lo mau mengakhiri semua ini sama Kak Jio.” Wenda kesal. Wanita itu mengepalkan tangan dengan kuat kemudian menarik kuat rambut Vio hingga meringis kesakitan. Vio tak membalas maupun menyerang balik Wenda. Gadis itu telah siap menerima semuanya.
“Gue udah suruh lo bangun, tapi lo gak pernah mau dengarin gue! Manusia macam apa lo?! Lo gak berhak bahagia, Vio. Lo harus mati!” Teriak Wenda seraya berusaha mencengkram kuat leher Vio. Yang dicengkram hanya tersenyum pasrah dan terus menumpahkan semua air matanya.
“Dibanding Jio, gue jauh lebih hancur lihat lo hidup bahagia di luar sana! Gue ingat gimana menderitanya Aretha karena lo!” Vio bisa melihat dengan jelas bahwa kedua mata Wenda memerah. Emosi yang telah memuncak itu membutakan Wenda hingga ia berperilaku seperti monster.
“Bu … bunuh aja gue, gakpapa. Asal … jangan Kak Jio,” ujar Vio terbata-bata.
“Lo harus mati di tangan gue, baru gue bisa mati tenang!”
“Biarin … Kak Jio … hidup bahagia, gue mohon.” Tak sanggup lagi untuk bicara bahkan pandangannya telah buram, Vio menutup kedua matanya hingga cairan bening itu mengalir untuk terakhir kalinya. Tubuhnya terasa lemas. Rasanya sesak seperti berada di dalam ruangan yang sempit. Ia pikir ini akan menjadi akhir dari segalanya. Berharap hidupnya berakhir di sini, namun ternyata tidak. Wenda menghentikan aksinya yang hampir membunuh Vio setelah mendengar bisikan yang tak asing.
“Kak Wenda, ingat janji kita ‘kan?”
“Tatha?” Wenda berdiri, menjauh dari Vio dan melihat ke sekeliling. Bisikan itu terasa nyata. Vio memegang lehernya sembari mengatur napas. Kedua matanya menangkap sosok Wenda yang terlihat kaget. Vio berusaha untuk berdiri dan berjalan ke arah dapur. Gadis itu mengambil pisau kecil yang ada di atas meja. Hasrat monster di dalam diri Vio muncul. Vio berniat untuk mengakhiri hidupnya bersama Wenda hari ini. Berjalan mendekati Wenda, tetapi sayangnya Wenda menoleh ke arah Vio. Ia mengambil sebotol wine yang ada di atas meja makan dan memukulnya tepat di atas kepala Vio hingga berdarah dan tersungkur di lantai. Pisau yang awalnya digenggam pun ikut jatuh tepat di sebelah Vio.
PRANG!
“Kenapa setiap kali gue mau bunuh lo, suara Aretha selalu menghentikan gue! Kenapa?!” Teriak Wenda persis di depan wajah Vio.
“Karena Aretha tahu yang monster bukan hanya gue, tapi lo juga!” Vio membalas teriakan Wenda.
“Setelah diperlakukan kayak gini, lo masih mau bunuh gue? Lo memang orang yang gak tahu diri, Vio. Lo gila!”
“Dan lo jauh lebih gila. Kita berdua iblis, Kak Wenda.” Vio tertawa jahat. Semakin kesal, Wenda menampar pipi kanan Vio. Seperti yang dibilang sebelumnya, Vio tak masalah ia mau dihujat, ditampar, maupun dibunuh. Vio akan menerima semuanya karena ia sudah pasrah dengan dunia ini.
“Sebelum kita berdua mati, gue minta tolong hapus menfess tentang Kak Jio dan kasih tau ke publik apa penyebab mereka putus.” Wenda membelalakan mata kaget.
“Gue tahu lo sengaja gak kasih tau bagian itu supaya semua orang nuduh Kak Jio pembunuhnya padahal faktanya semua itu murni kecelakaan. Aretha sendiri yang mati-matian nahan Kak Jio.”
“STOP! Sekali lagi lo sebut nama Are — ” Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Vio memotong lebih dahulu, “Setelah itu, gue akan mengakui ke seluruh dunia bahwa gue bersalah. Bahwa gue murni mendorong Aretha karena iri. Gue mengambil semua milik Aretha termasuk Kak Jio dan … putus,” pungkas Vio.
“Bullsh*t! Lo pikir gue percaya?”
“Gue punya bukti kelakuan busuk lo, Kak Wenda. Gue juga tahu lo ada main sama atasan lo. Kalau lo gak mau gue sebarin berita itu, lakukan apa yang gue perintah tadi.” Wenda terdiam bak patung. Membuka mulutnya, tak sangka gadis lemah di hadapannya justru mengetahui sisi gelap dirinya.
“Dari mana lo tahu …”
“Alden.” Tepat saat itu juga, pintu apartemen Wenda terbuka menampilkan seorang pria yang tak asing baginya. Baik Vio maupun Wenda tersentak kaget melihat kedatangan pria tersebut hingga akhirnya Vio menutup kedua matanya dan tak sadarkan diri.
Apakah ini akhir dari segalanya?
Apakah hidup Vio akan berakhir di sini, hari ini, dan di waktu ini?
Jika tidak, Vio berharap iya. Dirinya telah siap meninggalkan dunia ini. Dengan begitu, beban yang ada di pundaknya tak akan terasa sangat berat lagi.